Stabilitas perekonomian adalah prasyarat dasar untuk tercapainya peningkatan kesejahteraan rakyat melalui pertumbuhan yang tinggi dan peningkatan kualitas pertumbuhan. Stabilitas perekonomian sangat penting untuk memberikan kepastian berusaha bagi para pelaku ekonomi. Stabilitas ekonomi makro dicapai ketika hubungan variabel ekonomi makro yang utama berada dalam keseimbangan, misalnya antara permintaan domestik dengan keluaran nasional, neraca pembayaran, penerimaan dan pengeluaran fiskal, serta tabungan dan investasi. Hubungan tersebut tidak selalu harus dalam keseimbangan yang sangat tepat. Ketidakseimbangan fiskal dan neraca pembayaran misalnya tetap sejalan dengan stabilitas ekonomi asalkan dapat dibiayai secara berkesinambungan.
Perekonomian yang tidak stabil menimbulkan biaya yang tinggi bagi perekonomian dan masyarakat. Ketidakstabilan akan menyulitkan masyarakat, baik swasta maupun rumah tangga, untuk menyusun rencana ke depan, khususnya dalam jangka lebih panjang yang dibutuhkan bagi investasi. Tingkat investasi yang rendah akan menurunkan potensi pertumbuhan ekonomi panjang. Adanya fluktuasi yang tinggi dalam pertumbuhan keluaran produksi akan mengurangi tingkat keahlian tenaga kerja yang lama menganggur. Inflasi yang tinggi dan fluktuasi yang tinggi menimbulkan biaya yang sangat besar kepada masyarakat. Beban terberat akibat inflasi yang tinggi akan dirasakan oleh penduduk miskin yang mengalami penurunan daya beli. Inflasi yang berfluktuasi tinggi menyulitkan pembedaan pergerakan harga yang disebabkan oleh perubahan permintaan atau penawaran barang dan jasa dari kenaikan umum harga-harga yang disebabkan oleh permintaan yang berlebih. Akibatnya terjadi alokasi inefisiensi sumber daya.Mengingat pentingnya stabilitas ekonomi makro bagi kelancaran dan pencapaian sasaran pembangunan nasional, Pemerintah bertekad untuk terus menciptakan dan memantapkan stabilitas ekonomi makro. Salah satu arah kerangka ekonomi makro dalam jangka menengah adalah untuk menjaga stabilitas ekonomi makro dan mencegah timbulnya fluktuasi yang berlebihan di dalam perekonomian.
Stabilitas ekonomi makro tidak hanya tergantung pada pengelolaan besaran ekonomi makro semata, tetapi juga tergantung kepada struktur pasar dan sektor-sektor. Untuk memantapkan stabilitas ekonomi makro, kebijakan ekonomi makro, melalui kebijakan fiskal dan moneter yang terkoordinasi baik, harus didukung oleh kebijakan reformasi struktural, yang ditujukan untuk memperkuat dan memperbaiki fungsi pasar, antara lain pasar modal dan uang, pasar tenaga kerja serta pasar barang dan jasa, dan sektor-sektor meliputi seperti sektor industri, pertanian, perdagangan, keuangan dan perbankan.
PERMASALAHAN
Manajemen ekonomi makro yang sehat dan kemajuan yang dicapai dalam reformasi struktural telah menghasilkan perbaikan kinerja ekonomi secara mantap, khususnya stabilitas ekonomi makro. Dalam beberapa tahun terakhir, nilai tukar relatif stabil, inflasi terkendali pada tingkat yang cukup rendah, serta aktivitas eksternal telah mulai pulih. Kepercayaan pasar tetap terpelihara sejak berakhirnya dukungan program IMF pada akhir tahun 2003. Selain itu, kembalinya Indonesia dalam pasar modal internasional telah ditandai dengan suksesnya penerbitan obligasi pemerintah di luar negeri yang pada dasarnya mencerminkan kepercayaan internasional pada pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional. Sekalipun demikian stabilitas ekonomi yang mantap belum diikuti oleh perbaikan sektor riil yang memadai terutama dalam mengurangi pengangguran dan kemiskinan.
Stabilitas ekonomi makro masih rentan terhadap gejolak. Di sisi keuangan negara, kesinambungan fiskal masih menghadapi ancaman. Rasio stok utang pemerintah terhadap PDB masih relatif tinggi yang diperkirakan sekitar 53,9 persen dari PDB pada akhir tahun 2004. Dalam beberapa tahun mendatang jumlah obligasi pemerintah yang jatuh tempo akan mencapai puncaknya. Di sisi lain tingkat penerimaan, terutama pajak, masih jauh dari optimal dibanding potensi penerimaan yang tersedia. Pada sisi pengeluaran, efektivitas dan efisiensi pengeluaran masih belum optimal. Dengan demikian, tantangan dalam lima tahun mendatang adalah melaksanakan pengelolaan pinjaman baik luar negeri maupun dalam negeri yang lebih baik, meningkatkan penerimaan negara dan mengefektifkan pengeluaran negara dalam rangka menjaga ketahanan fiskal.
Laju inflasi dan tingkat suku bunga relatif lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara sekawasan. Perkembangan ekonomi sampai dengan tahun 2004 ditandai oleh nilai tukar yang mencapai Rp8.928/USD (angka rata-rata harian) serta laju inflasi sebesar 6,4 persen. Sementara itu suku bunga SBI 3 bulan pada akhir 2004 menjadi 7,3 persen dari 8,3 persen pada tahun sebelumnya. Penurunan tingkat suku bunga tersebut berdampak pada penurunan suku bunga kredit investasi menjadi 14,2 persen pada November 2004, dari 15,7 persen pada akhir tahun 2003. Namun demikian, apabila dibandingkan dengan negara tetangga (tahun 2003-2004), dengan laju inflasi dan tingkat bunga masing-masing berkisar antara 0,5 persen sampai dengan 1,8 persen dan 1,0 persen sampai dengan 2,8 persen, kondisi tersebut masih kurang kompetitif. Untuk itu kebijakan moneter yang hati-hati perlu terus dipelihara dalam rangka menurunkan laju inflasi dan memelihara kestabilan nilai Rupiah.
Kondisi neraca pembayaran perlu terus diwaspadai sejalan dengan terjadinya kenaikan penerimaan ekspor non-migas yang melambat. Nilai ekspor non-migas tahun 2000–2003 hanya tumbuh rata-rata sekitar 4,7 persen per tahun; jauh di bawah rata-rata sebelum krisis (1991–1997) yaitu sekitar 22,6 persen per tahun. Dibanding dengan negara pesaing lainnya di kawasan, kinerja ekspor nonmigas Indonesia relatif lambat. Ini menunjukkan adanya penurunan daya saing ekspor nonmigas Indonesia. Surplus ekspor migas, tanpa memperhitungkan kenaikan harga, juga menunjukkan kecenderungan menurun. Menurunnya produksi minyak dalam negeri dan terus meningkatnya konsumsi BBM telah meningkatkan baik impor minyak mentah maupun impor BBM, sedangkan ekspor minyak mentah menurun. Ekspor LNG menunjukkan persaingan yang semakin ketat, dengan meningkatnya pasokan LNG dari berbagai negara eksportir baru. Akibatnya Indonesia mengalami tekanan untuk menurunkan harga terhadap kontrak LNG lama yang akan diperpanjang.
Peningkatan impor yang terlalu cepat, tanpa diimbangi dengan ekspor nonmigas akan menekan posisi transaksi berjalan. Pada tahun 2004 impor, baik migas dan nonmigas, menunjukkan adanya peningkatan yang pesat sejalan dengan membaiknya perekonomian. Untuk mengamankan posisi neraca pembayaran hal ini perlu diwaspadai, terlebih lagi posisi defisit neraca jasa-jasa juga cenderung mengalami peningkatan.
Jumlah arus modal masuk, terutama investasi langsung luar negeri masih relatif rendah dibandingkan sebelum krisis dan negara-negara di kawasan ASEAN. Sejalan dengan upaya untuk menurunkan beban utang luar negeri, arus modal pemerintah cenderung mengalami defisit. Arus modal swasta selama beberapa tahun terakhir mengalami defisit, namun jumlahnya terus menurun sejalan dengan berkurangnya arus pembayaran pinjaman luar negeri swasta dan membaiknya arus modal masuk ke Indonesia.
Dengan memperhatikan perkembangan ekspor, impor dan arus modal masuk tersebut, untuk mengamankan posisi neraca pembayaran dalam lima tahun ke depan perlu dilakukan langkah-langkah untuk meningkatkan ekspor, khususnya ekspor nonmigas dan ekspor jasa-jasa, seperti pariwisata dan jasa perkapalan, serta langkah-langkah untuk meningkatkan arus investasi.
Sektor rill belum pulih. Ini tercermin dari lemahnya kondisi struktural, seperti rentannya ketahanan pangan, lemahnya struktur produksi industri, lemahnya sarana distribusi dan transportasi serta belum mantapnya kondisi perbankan dan lembaga jasa keuangan lainnya. Khususnya dari sisi perbankan, meskipun telah terjadi perbaikan, fungsi intermediasi perbankan belum optimal. Pertumbuhan kredit relatif masih rendah, di mana Loan to deposit ratio (LDR) bank umum relatif masih rendah, sekitar 49 persen (Oktober 2004) dibanding kondisi sebelum krisis sekitar 70-80 persen. Penyaluran kredit untuk usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) masih terkendala, tercermin dari pertumbuhan penyaluran kredit UMKM yang menurun dari 40,1 persen (2002) menjadi 25,8 persen (2003). Hal ini disebabkan oleh rendahnya aksesabilitas UMKM terhadap sumber-sumber pembiayaan baik dari bank maupun lembaga jasa keuangan non bank, yang antara lain: karena biaya transaksi dan resiko pembiayaan yang masih tinggi, terbatasnya pusat pelayanan perbankan kepada UMKM (UKM Center) yang menjangkau seluruh pelosok tanah air, serta terbatasnya penyediaan jaminan kredit dan agunan yang dipersyaratkan. Dengan demikian, kebutuhan penjaminan kredit menjadi penting bagi keberlangsungan pendanaan bagi UMKM. Disamping itu, masih tingginya resiko penyaluran kredit membuat NPL perbankan berada di atas 5 persen. Kondisi ini terutama disebabkan oleh masih tingginya risiko di sektor riil terkait dengan berbagai masalah struktural. Selain itu kejahatan perbankan masih kerap terjadi, hal ini berdampak negatif terhadap kepercayaan masyarakat terhadap perbankan yang belum pulih sepenuhnya akibat krisis perbankan.
Kondisi perbankan dan lembaga keuangan lainnya belum mantap. Lemahnya pengaturan dan pengawasan terhadap produk perbankan dan keuangan yang semakin bervariasi dan kompleks, serta dalam mengantisipasi globalisasi perdagangan jasa dan inovasi teknologi informasi, telah meningkatkan arus transaksi keuangan masuk dan keluar Indonesia. Di samping itu adanya kecenderungan pemusatan aset lembaga jasa keuangan pada sektor perbankan (di atas 80 persen di tahun 2003). Hal ini menyiratkan kuatnya ancaman krisis lembaga keuangan, terutama perbankan di masa depan.
Adanya potensi mismatch antara pendanaan jangka panjang (seperti pembangunan infrastruktur, dan pembelian SUN oleh perbankan) dengan sumber pendanaan yang masih bersifat jangka pendek. Pada tahun 2003 hingga pertengahan tahun 2004, sekitar 80-90 persen dari deposito berjangka merupakan simpanan yang kurang dari tiga bulan. Perbankan berbasis syariah yang diharapkan menjadi alternatif pembiayaan masyarakat, meskipun mencatat pertumbuhan yang menggembirakan, seperti rasio antara pembiayaan dibandingkan penghimpunan dana per November 2004 mencapai 104,8 persen, peranan pembiayaannya relatif masih kecil (baru sekitar 1 persen terhadap total perbankan). Sementara itu, peran lembaga jasa keuangan non bank yang sesungguhnya dapat menjadi sumber pendanaan jangka panjang bagi pembiayaan pembangunan relatif kecil. Total aset yang terhimpun melalui asuransi, dana pensiun, perusahaan pembiayaan, perusahaan modal ventura, dan pegadaian, baru sekitar 10 persen dari PDB dibandingkan dengan perbankan yang telah mencapai 51 persen dari PDB (tahun 2003). Hal ini disebabkan oleh lemahnya law enforcement dan
mksh infonya...
BalasHapusada info menarik nih...apakah anda orangtua yang sayang anak? ingin anak anda pintar, displin, cerdas dan sholeh? kunjungi aja les private di www.smartsukses.com atau smart sukses , les privat , guru datang ke rumah